Kamis, 30 September 2010

di ambil dari:http://pustakahikmah.unpad.ac.id/

“…Wataraa alsysyamsa idzaa thala’at tazaawaru ‘an kahfihim dzaata alyamiini wa-idzaa gharabat taqridhuhum dzaata alsysyimaali wahum fii fajwatin minhu dzaalika min aayaati allaahi man yahdi allaahu fahuwa almuhtadi waman yudhlil falan tajida lahu ‘waliyyan mursyidaan’..”

Artinya :

“…Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang Wali Mursyd-pun (pemimpin agama) yang dapat memberi petunjuk kepadanya..” (QS AL Kahfi : 17)

Semakna dengan ayat [QS.Al-Kahfi 17] di atas adalah:
[QS.Al-A’raaf 186], [QS.Az-Zumar 23], [QS.Al-Israa’ 97], [QS.Al-An’aam 125].

Berkaitan dengan kata “Wali Mursyid” yang terdapat dalam ayat [QS.Al-Kahfi 17] di atas, beberapa tafsir menerangkan, antara lain dalam Tafsir Fathul Qadir yang ditulis oleh Imam Asy-Syaukani menerangkan bahwa “Wali Mursyid” adalah penolong yang dapat memberikan hidayah pada yang haq (kebenaran).

Selanjutnya dalam Tafsir Bahrul Ulum yang ditulis oleh Abu Laits As-Samarqandi diterangkan bahwa “Wali Mursyid” adalah yang memberikan bimbingan/petunjuk kepada tauhid (pengesaan Allah).

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa “Wali Mursyid” itu adalah penolong atau pembimbing yang mengajak kepada kebenaran tauhid, tanpa menyebutkan siapa dia (nama), dari nasab atau keturunan siapa dan ia ada di mana. Selama ia dapat mengajak/membimbing kepada kebenaran Al-Qur’an sebagai petunjuk, menyeru kepada tauhid (mengesakan Allah), maka dialah “Wali Mursyid”.

Ingatlah, sesungguhnya Wali-Wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS Yunus : 62-64)

Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya dari kalangan para hamba Allah ada segolongan orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada, namun para nabi dan para syuhada’ berebut dengan mereka dalam kedudukannya terhadap Allah.”

Orang pun bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakan kepada kami siapa mereka itu dan apa amal perbuatan mereka. Sebab kami senang kepada mereka karena yang demikian itu.”

Nabi menjawab, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan Ruh Allah, tidak atas dasar pertalian keluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya terang, dan mereka berada di atas cahaya terang. Mereka tidak merasa takut ketika semua orang merasa takut, dan mereka tidak merasa kuatir ketika semua orang merasa kuatir.”

Dan kemudian Rosulullah membaca ayat ini : ‘Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tiada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka merasa kuatir.’

(Kitab Fath al-Bari, Hadis Sahih dirawikan Imam Bukhary)

Dari Abu Hurairah RA ia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya”
(Hadits Qudsi diatas dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.)

Bila mengacu pada al-Qur’an (Yunus, ayat 62-64), kriteria kewalian itu adalah iman dan taqwa. Dengan sudah terpenuhinya dua kriteria tersebut, berarti seseorang berhak menyandang predikat ‘Wali Allah’. Apakah sesederhana itu?

Menurut Dr. H. Asep Usman Ismail, salah seorang dosen senior UIN Jakarta. kriteria kewalian yang mengacu pada kadar keimanan dan ketaqwaan tersebut baru memenuhi konsep kewalian secara umum. Agar tidak mengaburkan istilah ‘Wali Allah’ yang demikian Kudus, tentunya kita tidak bisa hanya berpatokan pada pemahaman harfiyah dari ayat di atas.

Kalau ditinjau dari sudut kadar keimanannya maka standar kewalian itu bagi seorang ‘Wali Allah’ tersebut haruslah sampai pada tataran mengenal Allah SWT melalui penyaksian mata batinnya. Dan pada level ini pun masih bertingkat-tingkat kualitasnya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai konsep kewalian?

Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, istilah ‘Wali Allah’ itu kan maknanya bisa berarti dekat, bisa juga kekasih, bisa berarti bimbingan, atau juga pemeliharaan.

Jadi pengertian ‘Wali Allah’ itu adalah orang yang dekat dengan Allah, karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih Allah, karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasih-Nya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dan juga pemeliharaan dari Allah. Karena itu konsep kewalian itu bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Apakah dari sudut relasi itu juga dapat menjelaskan adanya tingkatan-tingkatan diantara para ‘Wali Allah’ itu?

Ya, kalau berbicara tentang relasi, kondisi dan intensitas setiap manusia itu kan berbeda-beda. Ada yang baru mendekat, ada yang sudah relatif dekat, ada yang sudah dekat sekali, bahkan ada yang sudah “menyatu”. Karena kondisinya berbeda-beda, maka kualitas kewaliannya pun menjadi berbeda pula. Itulah sebabnya mengapa ada tingkatan-tingkatan ‘Wali Allah’.

Dengan adanya tingkatan-tingkatan tadi, apa saja kriterianya sehingga seseorang layak dikategorikan sebagai ‘Wali Allah’ pada tingkatannya yang paling dasar misalnya?

Dalam al-Qur’an Surah Yunus ayat 62 sampai 64 itu disebutkan, persyaratan untuk menjadi wali itu hanya dua saja. Satu beriman, dua bertaqwa. Dari ayat inilah kemudian para ulama menyimpulkan tentang konsep ‘walaayatul-aammah’ atau kewalian secara umum, ada juga yang mengistilahkannya dengan ‘walaayatut-tauhiid’.

Sejauh mana kadar iman dan taqwa harus dimiliki sehingga seseorang berhak menyandang derajat kewalian dalam konteks kewalian secara umum ini?

Kalau menurut Ibnu Taimiyah, kewalian secara umum itu seseorang harus konsisten atau istiqamah dalam menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala yang dilarang Allah. Tapi belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan. Dan untuk kategori ini seseorang belum berhak menyandang derajat kewalian dalam pengertiannya yang khusus.

Jika demikian, bila konsep kewalian secara umum ini ditonjolkan, mungkin akan berdampak pada pendangkalan makna. Lebih-lebih istilah wali ini sudah sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal konsep kewalian dalam Islam itu kan begitu kudus. Jadi, apa sebenarnya makna kewalian secara khusus?

Pandangan tentang konsep kewalian secara khusus itu cukup beragam. Misalnya ada yang mengklasifikasikannya menjadi 8 tingkatan, yang masing-masing tingkatan itu menunjukkan kualitas yang berbeda. Tapi ada juga yang membaginya menjadi lima tingkatan saja, misalnya Hakim at-Tirmidzi.

Lalu, siapa saja yang sudah tergolong ‘Wali Allah’ dalam pengertian yang khusus ini?

Agak sulit menjelaskan kalau berbicara secara personal. Lebih jelas kalau kita berbicara tentang konsep. Secara konseptual, ada yang disebut ‘Walayah Haqqullah’. Istilah haq yang disandarkan kepada Allah, ini mengandung beberapa pengertian.

Dalam istilah Haq Allah itu tercermin pengertian pesan, ajaran dan perintah Allah. Karenanya haqullah bisa diartikan dengan syari’at Allah. Jadi Auliya – Wali Allah - pada tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu menjalankan syari’at Allah SWT secara kaffah, yaitu secara komprehensif dan istiqamah.

Jadi tidak ada konsep kewalian yang justru mengabaikan aspek syari’ah. Kecuali itu, istilah haqullah juga mengacu pada realitas wujud yang tertinggi. Jadi kewalian dalam tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu berintegrasi dengan realitas yang tertinggi, yaitu Allah SWT.

Pengertian berintegrasi ini tentunya harus mengacu pada apa yang dikonsepsikan oleh para sufi itu sendiri. Ada yang mengkonsepsikannya dengan ma’rifah, ada yang menyebutnya dengan ittihad, hulul dan lainnya.

Tingkatan berikutnya?

Ada lagi yang disebut ‘Waliyullah’, tidak digandengkan dengan istilah haq lagi. Tingkatan ini untuk menggambarkan bahwa sang wali itu, bukan berarti tidak lagi berpegang dan menjalankan syari’at. Tetapi perhatian dan orientasinya sudah pada substansi, bukan lagi berkutat pada aspek formal dari syari’at. Jadi dia sudah sampai pada tingkat merasakan inti atau substansi dari syari’at.

Dalam konteks ini, Imam Asy-Syathibi mengistilahkannya dengan hikmah syari’ah. Orang pada level ini adalah mereka yang sudah mencapai ‘Ghaayatush-shidqi fil-‘ibadah’, puncak kesungguhan dalam beribadah.

Dia sudah mencapai taraf optimal dalam kualitas ibadahnya. Ia sudah jauh melampaui batas minimal.

Apa perbedaan yang spesifik di antara kedua tingkatan tadi?

Kalau ‘Walaayah haqqullah’ disebut kaum shadiquun. Sedangkan ‘Waliyullah’ disebutnya sebagai shiddiiquun. Kalau mengacu pada pendapat Ibnu Taimiah sebagaimana tadi sudah kita singgung, kewalian secara umum itu baru konsisten menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala larangan Allah. Belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan.

Nah, kalau kelompok shadiquun itu, secara lahiriyah, mereka sudah istiqamah menjalankan yang disunatkan serta meninggalkan yang dimakruhkan. Adapun secara batiniyah, batinnya itu sudah terhubungkan dengan Allah.

Dengan kata lain, kelompok shiddiiquun adalah mereka yang sudah mencapai esensi dari syari’ah. Artinya sudah sampai pada penyerahan diri secara total kepada Allah. Dia sudah tidak menganggap bahwa dirinya punya kemampuan. Bahkan kesadaran eksistensialnya sudah sirna, sudah fana. Batinnya sudah mu’allqun billah, sudah terpaut erat dengan Allah SWT.

Sebaliknya, orang yang jauh dari Allah itu kan umumnya karena mereka menganggap bahwA dirinya punya kemampuan, menganggap dirinya punya eksistensi yang mandiri di luar Tuhannya.

Lalu tingkatan berikutnya?

Tingkatan berikutnya, ada yang disebut ‘Al-muniibuun’, yaitu orang-orang yang sudah senantiasa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Dia sudah berhasil menekan egonya, sudah dapat menekan kepentingan-kepentingan pribadinya, persepsinya tentang hal-hal duniawi sudah jernih. Orang seperti ini sudah mendekati karakter para malaikat.

Ada lagi yang disebut ‘Al-muqarrabuun’, yaitu orang yang sudah benar-benar dekat dengan Allah SWT. Bedanya dengan kita, misalkan kita ini betul memahami bahwa Allah itu dekat. Tetapi kita baru sampai pada taraf kognitif, tarap pemahaman.

Memang betul kita tidak pernah mengubah pendirian kita bahwa Allah itu dekat. Kita yakin akan betul hal itu. Tetapi kita belum bisa merasakan kedekatannya. Nah ‘Wali al-Muqarrabuun’ ini selalu dapat merasakan kedekatannya kepada Allah, dalam seluruh waktunya dan dalam sepanjang hidupnya.

Ada lagi tingkatan yang lebih tinggi dari yang tadi Anda sebutkan?

Yang lebih tinggi lagi adalah tingkatan ‘Al-munfariduun’. Pada level ini berarti sang wali sudah mencapai taraf menyendiri bersama Tuhannya. Untuk dapat memahami tingkatan ini mungkin kita perlu analogi. Misalnya ada yang hendak bertamu kepada seseorang yang sudah dikenalnya.

Kalau yang masih tergolong awam, kedekatannya itu kan baru pada taraf minimal. Saya kenal seseorang, saya tahu siapa namanya, saya tahu apa pekerjaannya, saya tahu bagaimana karakternya, saya tahu di mana rumahnya. Baru sebatas ini.

Kalau pada level berikutnya, misalnya, oh ya saya sudah sampai ke pekarangan rumahnya, bahkan saya sudah dipersilahkan masuk.

Tapi kalau pada tingkat ‘Al-muqarrabuun’, oh saya bukan saja sudah dipersilahkan masuk, tapi saya sudah diajak ke ruang tengah. Saya sudah diajak berbicara. Hanya saja saya belum bertemu langsung dengannya. Sebab dia masih berada dibalik hijab (pembatas).

Nah, kalau tingkatan ‘Al-munfariduun’, pemilik rumah sudah menampakkan diri. Bukan sekedar dekat bersamanya, tapi sudah berduaan dengannya.

Lalu apa puncak dari tingkatan kewalian itu?

Puncak dari tingkatan kewalian itu adalah ‘Khatmul Walaayah’. Ini juga yang disebut ‘Khutubul Auliya – Wali Kutub’, poros tertinggi dari derajat kewalian.

Kalau pada tingkatan ini bukan sekedar berduaan. Kalau berduaan kan masih bisa dibedakan antara dirinya dengan Tuhannya. Jadi masih ada pemisah antara aku dan Dia, atau aku dan Engkau.

Sementara pada tingkatan ini getaran rasa yang ada di dalam Qolbunya ‘Wali Allah’ tersebut sudah benar-benar menyatu dengan rasa Tuhan, tidak ada lagi hijab (pembatas) dan tak ada lagi rasa yang terpisahkan dengan Allah SWT di setiap detik yang dilewati sepanjang hidupnya.

Siapa saja yang berada pada puncak kewalian ini?

Kalau berbicara tentang person, lagi-lagi sedikit sulit untuk menjelaskan. Tapi umumnya ulama berpandangan bahwa pada setiap zaman itu ada wali kutubnya. Pengertian zaman di sini kurang lebih satu abad lamanya.

Pada masanya Syekh Abdul Qadir Jaelani, beliau ini yang dipandang sebagai ‘Kutubul Auliya’. Ada yang berpandangan bahwa pada masa Ibnu Arabi, beliaulah ‘Wali Kutubnya’. Pada masa Abu Hasan As-Sazili, beliaulah ‘Wali Kutubnya’. Jadi kalau berbicara tentang konsep umumnya bisa sepakat. Tapi tentang siapa yang memenuhi kriteria-kriteria pada setiap tingkatannya itu yang kadang tidak sepakat.

Pertanyaan yang terakhir, Derajat kewalian itu kan pada hakikatnya merupakan kualitas hubungan personal antara hamba dengan Tuhannya. Lantas, mengapa kemudian ada identifikasi bahwa si A itu adalah ‘Wali Allah’ dan si B itu bukan Wali Allah atau mungkin malah ‘Wali Syetan’. Bagaimana kita dapat mengetahuinya?

Ya, betul, derajat kewalian itu menyangkut essensi keberagamaan yang bersifat pribadi dan berdimensi batiniyah. Karena itu ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa ‘La ya’lamul-waliyya illal-waliyyu’.

Artinya, tidak ada yang dapat mengetahui dan memproklamirkan bahwa seseorang atau dirinya itu adalah ‘Wali Allah’, kecuali dari ‘Wali Allah’ yang lain.

Sehingga bagi kita sebenarnya tinggal mengikuti saja, karena antara ‘Wali Allah’ yang satu dengan ‘Wali Allah’ yang lainnya itu sesungguhnya saling berhubungan terutama secara Batiniyahnya, mereka terus saling sambung menyambung dan tidak akan pernah teputus sampai kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.

Demikian penjelasan tentang apa dan siapa para ‘Wali Allah’ yang sejati itu, semoga ada manfaatnya bagi semua. Wasalam.

La Hawla Wala Quwwata Ilabillah

Tiada Daya Kekuatan Kecuali Dari Allah

Laa ma’buda illa allah

Tiada yang disembah kecuali Allah

Laa ma’suda illa allah

Tiada yang dituju kecuali Allah

Laa maujuda illa allah

Tiada yang maujud (berwujud) kecuali Allah

Ilahi, anta maksudi

Tuhanku, hanya engkau tujuanku,

Waridhokamathlubi

Dan hanya ridloMulah yang kucari,

A’tini mahabbataka wama’rifataka

Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku

Laa ilaha illa allah

Tiada Tuhan kecuali Allah

Allahu Allah

Allahu Allah…

Para wali Allah datang kepadamu demi manfaat bagimu, bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Karena sungguh mereka tidak membutuhkan kalian atau siapapun dari mahluk ini (Terjemahan bebas dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar